R.A. KARTINI | Antara Mitos dan Fakta |
Tweet |
Ada merpati turun dari surga, melembut di atas alam.
Putih seperti salju, halus seperti sutra, begitu cepat dalam kecepatan.
Dalam mulutnya membawa sebuah batang semanggi Lembut hati-hati.
Dimana tiga daun semanggi sesuai bersama.Merpati melemparkan batang dengan lembut ke bawah Dan segera terbang membuai dengan bertepuk tangan pergi ke surga lagi.Tetapi diberkatilah, diberkati, daun-daun Yang di sini menemukan kaki Mereka adalah Iman, dan Harapan dan Kasih yang bersama-sama sebagai satu.
Puisi
diatas aslinya adalah sebuah puisi tulisan tangan berbahasa Belanda
yang terdapat dibelakang Foto kabinet dengan potret bertandatangan oleh
tiga saudara Kartini, Kardinah, dan Roekmini.
21 April 1879, tepatnya 133 tahun yang lalu ,... di Jepara terlahir seorang perempuan dengan Nama Raden Adjeng Kartini yang kelak akan menjadi seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Lahir
dari keluarga bangsawan Jawa tidak membahagiakan Kartini, seorang
perempuan yang dinobatkan sebagai pahlawan di kemudian hari,
kesedihannya terbaca dalam surat-suratnya kepada sejumlah rekannya.
Kartini
yang wafat dalam usia relatif muda pada 1904, Cara kematiannya pun
khas seorang ibu, wafat sewaktu melahirkan. Di usianya yang ke-25,
perempuan Jepara ini tak pernah melihat anak pertamanya itu. Sebab
kematiannya pun khas masalah kebanyakan kematian ibu melahirkan di
Indonesia.
Kartini
dari saat lahirnya , memang belum banyak berbuat untuk kemajuan
kaumnya, namun buah pikiran dan cita-citanya menjadi inspirasi gerakan
perempuan selanjutnya.
Perjuangan
Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan dan perjuangannya yang
fenomenal patut dikenang dan dijadikan spirit sampai kapanpun. Karena
sosok Kartini adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada
di Indonesia.
Kartini
bukanlah sosok hero layaknya G.I. Jane yang diperankan oleh bintang
seksi nan rupawan Demi Moore dalam drama film Hollywood yang memanggul
senjata maju di medan perang. Ia adalah pendobrak patron dan paham
patriakhi dalam budaya masyarakat Jawa yang kental.
Seabad
berikutnya meski prosentase wanita dalam struktur jabatan eksekutif
dan legislatif dianggap tidak memadai, tetapi siapapun bisa menilai
bahwa pendidikan perempuan Indonesia sudah cukup maju seperti yang
dicita-citakan Kartini.
Permasalahan
kesetaraan gender sering dikait-kaitkan dengan permasalahan HAM dan
keadilan sosial dalam arti luas, hingga mudah bagi konsep tersebut
menarik simpati, khususnya bagi perempuan.
Mengapa
perempuan selalu diidentikkan dengan pekerjaan domestik seperti
menyediakan kopi, sementara lelaki dengan bahagianya berkarir yang
sebenarnya juga mampu dikerjakan oleh perempuan menjadi salah satu
pertanyaan dasar bagi pejuang kesetaraan gender.
Anak-anak
kita sekarang ini sangat mungkin tidak pernah lagi melantunkan lagu
Ibu Kita Kartini karya WR Supratman itu. Bahkan bila boleh jujur
nyaris tak pernah mendengarnya lagi. Menyedihkan! Sosok Kartini sang
pembawa titik terang kaum perempuan Indonesia itu menjelma bagai
mitos, sesuatu yang kita percayai dan telah diangap sebagai sebuah
kebenaran sejak dulu tapi sebenarnya tidak benar.
Tegakah kita membiarkan zaman menyulap gagasan dan sosok Kartini sebagai pejuang kemanusiaan menjadi pada akhirnya mitos saja?
Apakah
gagasannya itu hanya dapat dibaca dibajunya, kebayanya, masakannya,
atau formalitas mengenang nama besarnya. Jangan sampai kita terjebak
pada ritualnya tapi alpa menyimpan makna dan menghidupkannya
terus-menerus sepanjang hari tanpa menunggu 21 April saja. Biarkan
semangat dan jiwa juang perempuan senantiasa terpompa untuk keluar dari
rasa ketidakmampuan.
Kita seyogianya mengenang Kartini pada gagasan, ide, perjuangan, dan pandangan-pandangannya tentang ketuhanan, kebijaksanaan, keindahan, humanisme, dan nasionalisme. Bukan pada apa yang telah diapresiasi oleh orang lain.
Sebab,
boleh jadi kita akan terjebak pada sosok Kartini sebagai sebuah nama
besar dan menafikan gagasan besarnya, karena hanya akan menjadikan
Kartini sebagai mitos yang melengkapi cerita-cerita mitos di negeri
kita ini. Kartini adalah putri sejati yang peduli kaumnya, dimana pada
masanya hampir tidak ada orang yang peduli nasib perempuan, bahkan
oleh dan dari kalangan perempuan sekalipun.
Hari
ini, biarkanlah semangat tumbuh dan berkembang menyemangati setiap
jiwa perempuan Indonesia. Pun, seluruh jiwa anak bangsa ini, karena
ide, gagasan, dan spirit untuk maju tidak hanya boleh diklaim oleh
segolongan kaum, apalagi oleh hanya karena jenis kelamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar